Jumat, 14 Maret 2014

Sinopsis Anime : Akachan To Boku Episode 4

 
Takuya sedang memilah-milah foto keluarga yang akan ia susun di sebuah album foto. Di ruangan sebelah, Minoru sedang asyik menggambar. “Wah, sudah lama aku tidak melihat foto ini,” kata Takuya sambil melihat foto itu. Takuya diam sambil memandangi foto itu sampai ia sadar bahwa suara Minoru tak terdengar. Ia beranjak lalu membuka pintu dan tanpa sengaja Minoru hampir terjatuh.
“Awas jatuh!!” kata Takuya sambil memegangi Minoru. Takuya memeluk Minoru. “Hampir saja…,” kata Takuya lega. Ia pun menggendong Minoru dan meminta Minoru untuk berhenti mencoreti dinding. Ia membawa Minoru bersamanya lalu mendudukkan Minoru disampingnya. Ia meletakkan spidol yang dipakai Minoru menggambar di atas meja.
“Aku sedang menyusun foto-foto ini. Bisakah kamu bersikap baik?” kata Takuya. Minoru mencoba meraih spidolnya tapi Takuya membentaknya. Ia mulai menggerutu karena merasa kesal pada Minoru yang membuat keonaran sepanjang hari.

Takuya menemukan sebuah foto. Takuya baru sadar bahwa itu fotonya bersama ibunya ketika Takuya masih bayi. “Aku belum pernah melihat foto ini sebelumnya. Aku pikir ini fotonya Minoru…,” kata Takuya.
“Mama,” kata Minoru.
“Iya.”
Takuya memandangi foto itu sejenak. Ia merapikan foto-foto lainnya dan meletakkan fotonya bersama Mamanya di sudut meja. Minoru melihat ke arah foto itu. Takuya masih sibuk merapikan foto-foto itu ketika ia mendengar bunyi goresan sebuah spidol. Ia tersentak dan melihat ke arah Minoru. Ia mendapati Minoru yang mencoreti sebuah foto. Itu adalah fotonya bersama Mamanya yang baru saja ia temukan. Takuya marah besar. Ia menampar Minoru dengan keras.
Malam menjelang. Rumah Takuya terlihat gelap. Papa Takuya yang baru saja tiba di depan rumah pun heran. “Aku pulang,” kata Papa Takuya setelah membuka pintu rumahnya. Tak ada jawaban dari Takuya ataupun Minoru. Papa Takuya mengecek ruang tengah. Ia menyalakan lampu ruangan. Ia mendengar suara isakan di ruangan sebelah. Ia pun membuka pintu ruangan itu dan melihat Minoru yang terisak.
“Minoru…,” panggil Papa Takuya. “Kamu kenapa? Dimana kakakmu, Minoru?” tanya Papa Takuya sambil berjalan mendekati Minoru.

Minoru masih terisak. Papa Takuya merasakan ada hal buruk yang terjadi pada Minoru. Minoru melihat ke arah Papanya sambil menangis. Papa Takuya terkejut ketika melihat pipi Minoru yang lebam. Ia pun berlari ke lantai atas menuju kamar Takuya.
“Takuya! Apa yang kamu lakukan pada Minoru?! Dia ‘kan masih balita! Lihat pipinya lebam!!” bentak Papa Takuya.
“Aku ada ujian besok. Jangan ganggu aku,” kata Takuya.
“Aku tidak peduli dengan ujianmu! Takuya! Tatap aku kalau bicara!!!” kata Papa Takuya dengan nada marah.
“Minoru…Minoru nakal!” kata Takuya dengan mata berkaca-kaca. “Lihat apa yang telah ia lakukan pada fotoku dan Mama!” lanjut Takuya sambil menangis. Tangisan Takuya membuat Papanya terhenyak.
Papa Takuya melihat foto yang Minoru coret. Itu adalah foto hasil jepretannya dulu. “Kamu dan Mama yang jadi modelnya. Lihat…bagus ‘kan…,” kata Papa Takuya.
“Sekarang sudah tidak ada bagusnya sama sekali!” kata Takuya dengan nada tinggi. “Aku marah! Benar-benar marah!”

“Aku mengerti…ini bukanlah sesuatu yang patut ditertawakan, tapi…”
“Aku baru saja menemukan foto itu!” kata Takuya.
Minoru berjalan mendekati Takuya. “Kakak…Kakak aku minta maaf…,” kata Minoru sambil terisak. Minoru memegang lengan Takuya namun Takuya melepaskan pegangan tangan Minoru sambil berkata bahwa ia tidak akan pernah memaafkan Minoru. Minoru menangis sambil perlahan-lahan berjalan mundur mendekati Papanya. Takuya beranjak meninggalkan Papanya dan Minoru yang menangis.
Papa Takuya menghela napas. “Sebenarnya ia anak pendiam, namun ia sungguh mengerikan ketika dia benar-benar marah…”
Di kamar, Takuya berpikir bahwa Minoru tidak mengerti berapa senangnya ia ketika menemukan fotonya bersama Mama Takuya. “Sungguh…aku sangat gembira sekali…,” kata Takuya dengan mata yang berkaca-kaca.
Papa Takuya mencari sesuatu di dalam lemari. Papa Takuya meminta Minoru untuk tidak khawatir. Papa Takuya pun menunjukkan sebuah botol pada Minoru. Minoru melihat kea rah Papanya. Papa Takuya pun menuangkan sedikit cairan pembersih pada selembar tisu. “Mamamu biasanya menggunakan larutan ini untuk membersihkan noda. Pasti ini akan membuat hati kakakmu senang kembali…,” kata Papa Takuya.
Minoru melihat ke arah Papa. Papa menyuruh Minoru untuk tenang. Minoru memeluk Papanya. “Hahaha…serahkan pada Papa. Semuanya akan baik-baik saja. Tenanglah…,” kata Papa Takuya sambil membersihkan coretan Minoru. Namun, betapa terkejutnya Papa Takuya setelah melihat hasilnya. Foto itu malah menjadi pudar.
“A…apa yang telah aku lakukan…”
Di TK, Ibu Guru Mayumi menyapa Minoru dengan senyuman yang mengembang. Minoru membalas sapaan Ibu Guru Mayumi. “Minoru tidak terlihat bersemangat hari ini,” kata Bu Guru Mayumi pada Papa Takuya.
“Dia…bertengkar dengan Takuya kemarin,” jelas Papa Takuya. Papa Takuya menyuruh Minoru untuk masuk ke dalam kelas. “Tolong jaga dia ya,” kata Papa Takuya pada Bu Guru Mayumi.
“Pasti. Selamat bekerja dan bersemangatlah!” kata Bu Guru Mayumi.
Di kelas, Bu Guru Mayumi bercerita kepada Bu Guru Hitomi bahwa ia baru saja berbicara dengan papanya Minoru. Bu Guru Mayumi berkata pada Minoru bahwa ia harus tetap bersemangat walaupun ia sedang bertengkar dengan Takuya.
 “Baik…,”kata Minoru.
Bu Guru Hitomi memberi aba-aba untuk anak-anak supaya mereka berkumpul. Besok anak-anak akan tampil di pertunjukan. “Kalian sudah hapal dengan gerakan tarian Nyanko no Nyank-nya kan?” tanya Bu Guru Hitomi.
“Iya!” jawab anak-anak serempak.
“Baiklah! Mari kita semua latihan sekali lagi gerakannya, ya?” perintah Bu Guru Hitomi.
“Iya!!”
Musik pun dimainkan. Semua anak-anak menari mengikuti irama musik. Anak-anak terlihat bersemangat menari kecuali Minoru. Bu Guru Mayumi dan Bu Guru Hitomi pun merasa heran karena gerakan Minoru berbeda dengan anak-anak lainnya.
“Iya, iya, memangnya ada apa dengannya?” tanya Bu Guru Hitomi. Bu Guru Mayumi hanya terdiam.
Di sekolah, Takuya sedang mengerjakan ujiannya. Di sela-sela ujiannya ia berpikir mungkin ia terlalu kasar pada Minoru. Ia menampar pipinya lalu menghela napas.
Gon-chan memanggil-manggil Takuya. Ia meminta bantuan Takuya untuk menjawab pertanyaan ujiannya. “Takuya…Hei, bagaimana cara mengejanya?” bisik Gon-chan. Takuya tak menggubris Gon-chan dan masih terpikir apa yang telah ia lakukan pada Minoru.
“Gotou-kun!”
“Eh?”
“Tolong duduk yang benar kalau sedang ujian!” tegur Pak Guru.
Bel pun berbunyi. Gon-chan bertanya pada Takuya apa yang telah terjadi. Takuya melihat ke arah Gon-chan dan bertanya apa yang akan Gon-chan lakukan kalau Hiro-chan mencoreti foto yang ia senangi bersama Mamanya.
“Aku sering melakukan hal itu,” kata Gon-chan dengan polos. “Aku melakukannya ketika dia menggangguku dan ketika aku marah padanya. Aku mencoreti fotonya dan itu membuatku lega. Kamu harus mencobanya sesekali.”
Takuya terdiam. “Jika saja aku masih memiliki Mama seperti Gon-chan, aku tidak perlu mengumpulkan dan menyimpan album foto…,” kata Takuya.
“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” tanya Gon-chan dengan cemas.
Takuya menggeleng. Ia mencoba menyembunyikan perasaannya. “Aku baik-baik saja,” jawab Takuya sambil tersenyum hambar. Gon-chan hanya memperhatikan Takuya tanpa kata-kata.
Di TK Minoru, Bu Guru Mayumi memberikan selebaran jadwal pertunjukan besok. Takuya mengambil selebaran itu. Bu Guru Mayumi mengatakan pada Takuya bahwa Minoru benar-benar terlihat sedih hari ini. Takuya hanya diam sambil melihat ke selebaran itu.
“Takuya-kun, segera berbaikanlah dengan Minoru-kun,” kata Bu Guru Mayumi.
“Iya…,” kata Takuya.
Minoru mengintip Takuya dari ruang kelasnya. Takuya pun mengajak Minoru dengan nada kesal. Minoru terlihat ketakutan. Ia berlari ke arah Takuya lalu memeluk erat kaki Takuya. “Lepaskan Minoru!” kata Takuya dengan nada tinggi.
Minoru tak ingin melepaskan pelukannya. Bu Guru Mayumi hanya melihat ke arah Minoru sedangkan Takuya merasa keheranan. Takuya berpamitan pada Bu Guru Hitomi lalu beranjak meninggalkan TK Minoru. Ia tak menghiraukan Minoru yang masih memeluk erat kaki Takuya.
“Aku minta maaf. Aku berjanji akan menjemputnya besok,” kata Papa Takuya ketika di rumah. Papa Takuya menuangkan sake ke gelasnya dan mengatakan pada Takuya bahwa tadi siang ia membantu programmer baru untuk mengerjakan pekerjaannya dan membuatnya pulang terlambat.
Takuya terdiam. Sedangkan Minoru sedang asyik makan. “Hei, Minoru! Lakukanlah yang terbaik di acara pertunjukan besok ya!” kata Papa Takuya.
“Iya!” kata Minoru.
Minoru melirik ke arah Takuya. Ia melihat Takuya yang sedang berusaha menikmati makan malamnya. Papa Takuya pun berusaha untuk mencairkan suasana yang kaku itu.
“Papa ingin sekali datang ke acara pertunjukanmu besok, tapi Papa ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan besok,” kata Papa Takuya pada Minoru. Papa Takuya melihat ke arah Takuya. “Takuya-kun, kamu akan menghadiri acara pertunjukannya mewakili Papa, kamu mau kan? Iya kan? Yah, kamu mau kan?” rayu Papa Takuya.
Takuya terdiam. “Hei, Papa, mana fotoku yang kemarin?” tanya Takuya.
Papa Takuya terkejut dan tanpa sengaja menyemburkan sake yang ia minum ke wajah Takuya. “Uh…Takuya, maaf, maaf,” kata papa Takuya sambil membersihkan wajah Takuya.
Minoru sedang mencoba menusuk kroketnya dengan garpu namun terus gagal. “Aduh…,” kata Minoru sambil terus berusaha menusk kroketnya. Tanpa sengaja Minoru menumpahkan sup yang ada di mangkuk Takuya.
“Aduh panas!! Panas sekali!!!” kata Takuya. “Sudah cukup!!” kata Takuya kesal. Takuya marah dan berkata bahwa ia tidak akan datang ke acara pertunjukannya Minoru besok dan tidak akan menjemputnya. Takuya meninggalkan Minoru yang menangis di meja makan.
“Kakak…kakak…”
Papa Takuya menghela napas. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya. Itu adalah foto Takuya bayi dengan sang Mama. “Mama…apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Di kamar, Takuya merenung. Sebenarnya ia sudah tidak marah pada Minoru. Sedangkan Minoru menangis semakin kencang di ruang makan.
Pagi menjelang, Papa Takuya berpamitan pada Takuya. “Sekarang kan hari Minggu…Papa akan benar-benar pergi kerja?” tanya Takuya sambil menggosok gigi.
“Sudah kubilang padamu kemarin, kalau aku ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan sebelum hari Senin,” jawab Papa Takuya.
“Tapi, hari ini…”
“Kumohon Takuya.”
“Tapi Minoru…”
“Akan aku usahakan agar bisa selesai siang ini dan aku akan menjemputnya,” kata Papa Takuya.
“Aku berangkat,” pamit Minoru dengan wajah sedih.
Papa Takuya membuka pintu. “Aku mengandalkanmu,” kata Papa Takuya. Minoru pun beranjak meninggalkan Takuya dengan wajah sedih. Di perjalanan Papa Takuya berkata pada Minoru untuk tenang. Ia tahu Takuya pasti datang ke pertunjukannya.
Takuya melihat ke selebaran jadwal pertunjukan Minoru. “Pertunjukan Tarian Nyanko no Nyanko oleh anak-anak TK nol kecil pukul 10.05,” baca Takuya. Takuya melirik ke arah jam dinding rumahnya. Waktu menunjukkan pukul 09.30 tepat. Takuya merasa dilemma. Ia terbayang-bayang wajah Minoru yang sedih.
Di TK, Bu Guru Mayumi menyuruh Minoru untuk bersiap-siap. Minoru hanya berdiam diri. Di rumah, Takuya merebahkan diri. Ia bertanya-tanya siapa saja yang akan datang ke pertunjukan itu. Takuya teringat kata-kata Bu Guru Mayumi bahwa Minoru terlihat sedih padahal biasanya ia anak yang paling lincah di antara yang lainnya.
“Aku tidak akan pergi…,” kata Takuya.
Kepala Sekolah memberikan sambutan. Bu Guru Hitomi sedang menyiapkan anak-anak di balik panggung. Bu Guru Mayumi menghampiri Minoru dan bertanya apa dia masih bertengkar dengan Takuya. Minoru diam sejenak. “Apa aku anak baik?” tanya Minoru.
“Tentu saja kamu anak baik,” jawab Bu Guru Mayumi sambil mengusap kepala Minoru. Mata Minoru berkaca-kaca dan akan menangis. Sesaat Minoru teringat akan Takuya lalu ia mengusap matanya untuk tidak menangis.
Takuya melihat ke sebuah foto. Itu fotonya bersama Mamanya ketika acara pentas seni. Ia merasa sangat gembira saat itu. Bayangan Minoru kembali datang. “Minoru…”
Minoru akan tampil. Semua anak terlihat gembira kecuali Minoru. Di samping panggung, Pak Kepala Sekolah yang memakai kostum kucing berniat untuk bergabung. Anak-anak tertarik dan berkerumun ke Pak Kepala Sekolah. Bu Guru Mayumi berusaha untuk menghalangi Pak Kepala Sekolah untuk masuk ke panggung.
“Pak Kepala Sekolah nanti acara kita bisa-bisa gagal total! Ayo kembali ke belakang panggung,” kata Bu Guru Hitomi sambil menarik Pak Kepala Sekolah bersama Bu Guru Mayumi.
“Eh, tapi aku juga ingin ikut menari…,” kata Pak Kepala Sekolah sambil meronta. Namun, Bu Guru Mayumi dan Bu Guru Hitomi terus mencegah.
Takuya berlari menuju TK Minoru. Tarian kelas Minoru pun dimulai. Semua anak menari dengan lincah. Tetapi Minoru hanya diam. Bu Guru Mayumi dan Bu Guru Hitomi merasa khawatir. Di kursi penonton, bebarapa penonton membicarakan Minoru yang tidak menari. Takuya membuka pintu kelas ketika sampai di TK Minoru. Ia melihat Minoru yang hanya diam.
“Minoru…apa yang sedang kamu lakukan?” kata Takuya.
Minoru melihat ke depan. Ia mendapati sosok Takuya yang berdiri melihatnya. Wajah Minoru berubah. Ia tersenyum senang lalu menari-nari tak beraturan. “Kakak…kakak…kakak…”
“Apa yang dia lakukan..?” tanya Takuya dalam hati.
Mata Takuya berkaca-kaca. Minoru terlihat lucu. Takuya tertawa bahagia. Papa Takuya menepuk pundak Takuya. “Bagaimana dengan pekerjaannya?” tanya Takuya.
“Aku minta izin sebentar…Aku masih harus kembali ke kantor dan kemungkinan makan malam nanti dengan kroket lagi…Tidak apa-apa kan?” jawab Papa Takuya.
Takuya tersenyum. Papa Takuya melihat kea rah panggung dan melihat Minoru yang menari sendiri dengan tarian kreasinya sendiri. Takuya menyentuh pundak Papanya dan berkata, “Tingkahnya di panggung itu lucu, benar-benar lucu sekali…”
“Iya…luar biasa,” kata Papa Takuya.
Minoru masih menari-nari sedangkan Takuya dan Papanya hanya melihat tingkah lucu Minoru. Takuya berkata pada Papanya bahwa ia tidak membutuhkan foto yang tercoret itu. Papa Takuya tersenyum. “Aku punya banyak kenangan dengan Mama disini…Di dalam hatiku,” kata Takuya sambil menyentuh dadanya.
Papa Takuya mengangguk. “Kamu tahu…Papa sempat berpikir…”
“Eh?”
“Mungkin Minoru cemburu melihat foto Takuya dan Mama bersama terllihat begitu gembira…,” jelas Papa Takuya.
Ucapan Papa Takuya memberikan pukulan dan menyadarkan Takuya. Dibandingka dengan Takuya, Minoru sama sekali tidak mempunyai banyak kenangan bersama Mamanya. Takuya bertekad untuk memberikan Minoru banyak kenangan indah.

Bersambung ke Sinopsis Anime : Akachan to Boku Episode 5

Minggu, 02 Maret 2014

Sinopsis Anime : Akachan To Boku Episode 3


Langit terlihat cerah. Takuya memukul-mukulkan penghapus papan tulis sambil memikirkan tentang makan malam mereka. Ia kurang menambahkan saus kecap pada ikan panggang saat makan malamnya kemarin. Ia merasa makanannya jadi kurang enak. Takuya terbatuk karena debu kapur tulis yang beterbangan.
Papa Takuya sedang memilih-milih daging ikan panggang. Takuya membantu memilihkan daging ikan untuk Minoru dan meminta Minoru untuk bersabar. Namun, sepertinya Minoru sudah sangat lapar. Papa Takuya memakan daging ikan yang sudah ia pilih. Ia merasakan sepertinya ada yang kurang.
Takuya memberikan daging ikan ke mangkuk makan Minoru. Wajah Minoru terlihat tidak sabar untuk menikmati makan malamnya malam itu. Takuya juga memakan daging ikannya dan merasakan ada yang kurang.
“Rasa ikan panggang ini kurang enak…,” kata Takuya dalam hati sambil mengunyah makanannya.
Sebelum berangkat sekolah, Takuya melihat sebuah brosur. Ia berencana membeli kecap asin sepulang sekolah karena sedang ada diskon kecap asin.
Salah satu penghapus papan yan Takuya pegang terjatuh dan mengenai pakaiannya. Ia pun membersihkan pakaiannya dari debu kapur dari penghapus papan itu. Tiga orang anak perempuan teman sekelas Takuya memperhatikan Takuya dari kejauhan. Mereka merasa kasihan pada Takuya.
Gon-chan mencoba menguping pembicaraan para anak perempuan itu yang membicarakan tentang Takuya. Para anak perempuan itu memuji Takuya yang menjaga Minoru setelah Mamanya meninggal.
“Pasti susah! Tidak ada yang membantu!” kata ketiga anak perempuan itu bersamaan.
Gon-chan mendekati ketiga anak perempuan itu. “Hei, aku juga punya adik lho,” kata Gon-chan. “Aku juga seering menjaga adikku,” lanjut Gon-chan sambil membanggakan diri. Reaksi ketiga anak perempuan itu biasa saja. Tidak seperti reaksi mereka ketika membicarakan tentang Takuya.
“Kalian merasa iba padaku kan?! Ayo bicara yang manis juga tentangku,” kata Gon-chan.
Ketiga anak perempuan itu meninggalkan Gon-chan. Mereka mengatakan bahwa meskipun mereka merasa iba dan bicara yang manis tentangnya, semua itu kembali ke tampangnya. Gon-chan terlihat kesal.
“Gon-chan, ayo pulang sama-sama,” ajak Takuya.
“Kau mencuri perhatian para gadis dengan senyum manismu itu ya?” tanya Gon-chan sambil melirik ke arah Takuya.
“Hah??” kata Takuya tak mengerti.
Gon-chan dan Takuya berjalan bersama. Gon-chan mengatakan pada Takuya bahwa ia akan bermain baseball nanti dan ingin mengajak Takuya untuk berain baseball bersamanya. Takuya menolak karena ia harus menjemput Minoru.
“Mengapa kamu harus menjemput adikmu setiap pulang sekolah?” tanya Gon-chan.
“Ya, karena tidak ada orang lain lagi yang bisa,” jawab Takuya.
“Baiklah, karena besok hari Minggu, pasti ada waktu untuk bermain kan?” tanya Gon-chan.
“Aku harus pergi belanja dan menjaga Minoru,” jawab Takuya.
Gon-chan mengatakan bahwa Takuya menjaga adiknya dengan baik. Ia pun mangatakan pada Takuya bahwa ia tidak pernah menjaga Hiro, adiknya. Takuya tak percaya bahwa Gon-chan benar-benar memiliki adik.
“Tapi…kamu tidak pernah bialng kalau kamu punya adik,” kata Takuya.
“Karena bayi itu menyebalkan jadi aku tidak pernah bilang,” kata Gon-chan.
Gon-chan bertanya pada Takuya mengapa ekspresinya terlihat seperti dia sangat kaget ketika ia mengatakan bahwa ia memiliki adik. Takuya pun menjadi salah tingkah ketika ia melihat Gon-chan yang terlihat kesal.
Di TK, Pak Kepala sekolah sedang bermain ayunan dan mencoba menghibur anak-anak yang ada di sekitarnya. Takuya berpikir bahwa seorang kepala sekolah pun harus punya banyak energi ketika mengajak anak kecil bermain. Takuya pun berjalan menuju kelas Minoru.
Di kelas, Takuya sedang melihat sebuah gambar. Minoru menggambar sesuatu untuk Takuya. “Apa ini…?” tanya Takuya.
“Kamu tidak bisa menebaknya?” tanya Bu Guru balik.
“Ini…ubur-ubur atau sesuatu…,” jawab Takuya.
“Kamu lucu…Ini kan gambar dirimu yang digambar oleh Minoru-kun,” kata Bu Guru sambil tersenyum.
Takuya tak percaya. “Heh? Aku?”
Bu Guru mengatakan pada Takuya bahwa ia meminta anak-anak untuk menggambar orang yang mereka sayangi. Takuya melihat kea rah Minoru. Minoru tersipu sambil mengusap-usap kepalanya. Bu Guru tertawa melihat Minoru, tapi Takuya mengatakan bahwa itu memalukan.
“Kakak…,” kata Minoru sambil menundukkan kepalanya berharap Takuya mengusap kepalanya.
Takuya mengusap kepala Minoru sambil berkata, “Iya, iya, anak pintar.” Minoru tertawa lebar ketika Takuya mengatakan hal itu.
DI supermarket, Minoru ingin sekali coklat. Namun, Takuya melarang dan membawa Minoru menuju rak kecap asin. Takuya mengambil sebotol kecap asin sambil memeriksa masa kadaluarsa kecap asin itu. Tanpa ia sadari Minoru meninggalkannya dan menuju ke rak makanan ringan. Takuya tersadar dan bergegas ke rak makanan dan menemukan Minoru yang memakan sebatang coklat yang ia inginkan tadi.
“Minoru…,” kata Takuya sambil menyentuh kepalanya.
Takuya melihat ke sekeliling. Banyak orang memperhatikan Minoru. Ia pun bergegas mengajak Minoru untuk membayar barang yang ia beli.
Takuya dan Minoru pun berjalan menuju rumah sambil bernyanyi. Di tengah perjalanan pulang, Mama Gon-chan menyapa Takuya. Takuya memberikan salam dan menyuruh Minoru untuk mengucapkan  salam juga.
“Lucunya…dia bisa bilang halo…,” puji Mama Gon-chan. Minoru tersipu. Mama Gon-chan melihat ke arah bungkusan yang dibawa oleh Takuya dan bertanya apakah Takuya baru saja belanja. Ia pun merasa kagum pada Takuya. Ia pun memuji Takuya yang menjaga adiknya dan mengajaknya belanja. Takuya merendah. Mama Gon-chan pun membandingkan Takuya dengan Gon-chan yang tidak pernah melakukan hal seperti Takuya.
“Aku harap dia sepertimu Takuya-kun, walaupun sedikit,” kata Mama Gon-chan.  Mama Gon-chan pun berpamitan. Ia mengatakan pada Takuya untuk memberitahunya jika Takuya membutuhkan sesuatu.
Di rumah Gon-chan, Mama Gon-chan marah pada Gon-chan yang masih saja bermain-main padahal ia meminta Gon-chan untuk menjaga Hiro. Gon-chan pun mengatakan bahwa ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Mama Gon-chan pun mulai membandingkan Gon-chan dengan Takuya yang menjaga Minoru dengan baik.
“Itu kan berbeda! Lagipula Hiro tidak lucu sama sekali!!” kata Gon-chan dengan nada tinggi.
Mama Gon-chan mengangkat Hiro dan menunjukkan betapa lucunya Hiro. Hiro menatap Gon-chan dan Gon-chan berpikir sepertinya mata Mama Gon-chan sudah rabun. Gon-chan menarik pipi Hiro dan mengatakan bahwa wajah Hiro menyeramkan. Tanpa diduga Hiro memukul Gon-chan.
“Ahh…Kenapa anak nakal ini memukul wajahku?!” tanya Gon-chan dengan kesal.
“Tadashi,” kata Mama Gon-chan.
“Apa lagi?”
“Besok hari Minggu dan kamu tidak sekolah. Aku harap kamu bisa menjaga Hiro seharian!” perintah Mama Gon-chan.
Gon-chan merasa keberatan. Ia mengatakan bahwa ia ada urusan penting. Maa Gon-chan pun meradang. Ia kembali membandingkan Gon-chan dengan Takuya. Ia mengatakan pada Gon-chan bahwa jika Hiro memiliki kakak seperti Takuya maka Hiro pasti akan senang

“Itukah yang Mama inginkan?” tanya Gon-chan.
Mama Gon-chan tersenyum sambil berkata, “Benar sekali. Semuanya akan jadi menyenangkan bagi Hiro jika dia punya seorang kakak penyayang,” kata Mama Gon-chan.
“Akan kutunjukkan padamu,” kata Gon-chan.
Minoru menyodorkan cangkirnya yang kosong pada Takuya. Minoru ingin segelas jus lagi. Takuya heran mengapa jusnya sudah habis lagi. Takuya mendengar Gon-chan memanggil namanya. Takuya pun bergegas menemui Gon-chan di depan pintu.
Gon-chan menyodorkan Hiro pada Takuya. Takuya heran. Gon-chan memperkenalkan Hiro pada Takuya. Takuya berpikir bahwa wajah Gon-chan dan Hiro sangat mirip. Takuya jadi ingin tertawa melihat mereka berdua.
“Ada apa?” tanya Gon-chan.
“Ah tidak apa-apa,” jawab Takuya.
Minoru berlari menyusul Takuya. Gon-chan mengatakan pada Minoru bahwa ia membawa teman bermain untuk Minoru. Minoru melihat ke arah Hiro. Ia sedikit takut pada Hiro. Hiro menarik rambut Minoru. Gon-chan berpikir bahwa Hiro dan Minoru terlihat akrab.
“Senangnya, akhirnya Minoru ada teman bermain. Aku jadi punya waktu senggang!” kata Takuya dalam hati.
Hiro menarik-narik rambut Minoru. Gon-chan meminta Hiro untuk berhenti melakukannya. Gon-chan kelur dari rumah Takuya. Ia berpamitan dan mengatakan pada Takuya untuk bersenang-senang. Takuya tak mengerti apa yang telah terjadi.

Di dalam rumah, Takuya berpikir mungkin Gon-chan sedang sibuk menjaga toko dengan orangtuanya. Minoru dan Hiro sedang menggambar bersama. Minoru terlihat senang menggambar. Tiba-tiba Hiro mengambil krayon yang sedang digunakan Minoru. Minoru pun mengambil krayon lainnya. Hiro kembali mengambil krayon yang dipakai Minoru. Minoru mengambil krayon lainnya lagi dan Hiro mengambil krayon Minoru lagi. Minoru terlihat takut. Hiro kemudian menggambar dengan menggunakan keempat krayon itu bersamaan. Krayon itu pun patah dan mengenai dahi Minoru. Minoru pun menangis dan mengagetkan Takuya yang sedang asyik membaca buku.
“Minoru, ada apa?” tanya Takuya. Minoru berlari memeluk Takuya sambil menangis. Hiro hanya melihat ke arah Takuya dan Minoru. “Tidak apa-apa. Sakit, sakit, pergilah… Sakit, sakit, pergilah…,” kata Takuya sambil mengusap dahi Minoru. Hiro masih menatap ke arah Takuya dan Minoru dengan tatapan aneh.
Takuya sadar bahwa Hiro memperhatikannya. Ia melihat ke arah Hiro namun Hiro memalingkan wajahnya dan berpura-pura bermain. Takuya masih menatap Hiro dan berpikir mungkin Hiro merasa kesepian.
Di halaman rumah, Minoru dan Hiro bermain bola bersama. Minoru akan mengambil bola ketika Hiro menendangnya. Minoru  keheranan dibuatnya. Minoru akan mengambil bolanya lagi dan Hiro pun berlari dan mengambil bola itu. Minoru jatuh berguling. Minoru terisak dan memanggil Takuya. Takuya datang lalu memeluk Minoru.
“Ya ampun, bisakah kalian berdua bermain tapi tidak bertengkar? Main yang aku ya…,” kata Takuya.
Hiro melempar bola ke Takuya. Bola pun terpental dan mengenai Nyonya wajah Nyonya Kimura yang sedang berjalan. Nyonya Kimura mendekati dinding rumah Takuya dan mengira Takuya memiliki dua adik bayi.
“Tidak, dia ini adiknya teman sekelasku,” kata Takuya.
“Satu saja sudah membuatku pusing, sekarang kamu merawat anak bayi lain… Kuharap hari ini takkan jadi harinya perang tangisan,” keluh Nyonya Kimura.
Minoru memeluk Takuya dengan erat. Nyonya Kimura berpikir mungkin dua bayi takkan membuat suasana lebih parah dan mengatakan pada Takuya untuk memberitahunya jika Takuya membutuhkan sesuatu.“Gon-chan kamu sedang apa sekarang?” tanya Takuya dalam hati.
Di rumah, Gon-chan sedang asyik bermain game. Mama Gon-chan datang dan memukul kepala Gon-chan dengan keras. Mama Gon-chan menanyakan tentang keberadaan Hiro pada Gon-chan. Gon-chan mengatakan bahwa Hiro berada di tempat yang aman dan meminta Mamanya untuk tidak mengkhawatirkan Hiro.
“Apa katamu?!! Tega-teganya kamu…Kamu pikir yang begitu itu kakak yang baik?” kata Mama Gon-chan marah. “Mengapa kamu tidak belajar sesuatu dari Takuya-kun? Kasihan Hiro…”
Gon-chan mulai kesal. Ia mengatakan bahwa Hiro berada di rumah Takuya. Mama Gon-chan terlihat kaget dan tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan Gon-chan. Papa Gon-chan datang dan meminta mereka untuk menghentikan keributan itu. Mama Gon-chan mengatakan pada Papa Gon-chan bahwa Gon-chan meninggalkan Hiro di rumah Takuya.
“Mengapa kamu melakukan hal seperti itu?” tanya Papa Gon-chan. Gon-chan diam. “Tadashi!!!”“Bukankah Ayah mendengar apa yang Ibu katakan?” tanya Gon-chan. Mata Gon-chan berkaca-kaca. “Alangkah senangnya jika Hiro bisa mempunyai kaka seperti Takuya… Itu sebabnya aku pikir akan lebih baik bagi Hiro jika dijaga oleh Takuya daripada olehku…”
Mama dan Papa Gon-chan terdiam dan mendengarkan keluh kesah Gon-chan. Gon-chan merasa iri dengan Takuya yang terkenal di sekolah dan bisa menjaga adiknya bahkan melakukan kegiatan rumah tangga. Gon-chan berpikir bahwa ia sangat tidak berguna dibandingkan dengan Takuya. Gon-chan pun menangis.
“Apa kamu pikir Takuya-kun tidak punya perasaan tertekan sepertimu juga? Bagaimana dia menjaga adiknya, bagaimana dia melakukan semua pekerjaan rumah tangga?” tanya Mama Gon-chan.
Gon-chan berhenti menangis. Ia melihat ke arah Mamanya. “Dia melakukan semua itu karena dia tidak punya pilihan lain, karena Mamanya sudah tiada… Apa kamu mengerti sekarang?” Mama Gon-chan mengatakan pada Gon-chan bahwa setiap kali ia bertemu dengan Takuya, Takuya selalu terlihat gembira. Gon-chan mulai menyadari kesalahannya.
“Coba kamu pikir bagaimana jika kamu menjadi Takuya-kun?” tanya Mama Gon-chan.
Papa Gon-chan memukul kepala Gon-chan menyuruh Gon-chan untuk bergegas menjemput Hiro. Gon-chan beranjak dan menuju rumah Takuya. Ia berkali-kali menggedor pintu rumah Takuya, namun sepertinya Takuya sedang tidak ada di rumah. Nyonya Kimura yang mendengar Gon-chan yang memanggil-manggil Takuya pun mengatakan bahwa Takuya dan anak-anak baru saja meninggalkan rumah.
Di taman, Takuya, Minoru dan Hiro sedang bermain pasir bersama. Takuya dan Minoru bernyanyi sedangkan Hiro serius bermain dengan pasir. Hiro mencoba untuk lebih akrab dengan Hiro namun sepertinya Hiro tidak ingin. Ia berpikir mungkin Hiro merasa cemburu karena ia lebih perhatian pada Minoru. Takuya menatap Minoru yang sedang asyik bermain pasir. Ia merasa mungkin Minoru kesepian saat di playgroup saat menantikan kedatangannya.
“Hiro, kakakmu sebentar lagi akan kesini menjemputmu,” kata Takuya.
Takuya melihat Gon-chan yang berlari untuk mencari Takuya. Takuya pun memanggil Gon-chan. Takuya berlari menghampiri Gon-chan dan mengatakan bahwa Hiro kesepian tanpa Gon-chan. Gon-chan meminta maaf pada Takuya karena telah merepotkan Takuya.
Seekor anjing berjalan mendekati Minoru dan Hiro yang sedang asyik bermain. Minoru menangis ketakutan dan berteriak memanggil Takuya. Takuya melihat ke arah Minoru dan Hiro serta seekor anjing yang menyalak pada mereka.
“Si anjing bodoh, Francoise!!” kata Gon-chan. Gon-chan bermaksud melompati pagar taman, namun kakinya tersangkut dan ia menarik kaos Takuya untuk berpegangan.
“Gon-chan lepaskan aku!” kata Takuya sambil berusaha melepaskan pegangan Gon-chan.
Anjing it uterus menyalak pada Minoru dan Hiroko. Minoru memberanikan diri untuk melihat anjing itu namun ia ketakutan. Ia terus memeluk Hiro sambil memanggil Takuya. Mata Hiro berkaca-kaca. Ia juga takut dengan anjing itu. Hiro menangis. Minoru melihat ke arah Hiro. Ia teringat ketika Takuya mengusir anjing itu. Minoru memeluk Hiro dan mereka pun terjatuh. Si anjing mengendus Minoru dan Hiro lalu pergi meninggalkan mereka setelah Gon-chan gagal menendang anjing itu.
“Pergilah, dasar anjing bodoh!” kata Gon-chan.
Takuya berlari ke arah Minoru. Mata Minoru berkaca-kaca. Takuya memeluk Minoru yang menangis. Ia mencoba menenangkan Minoru. Hiro menarik celana Gon-chan. Ia menangis. Gon-chan melihat kea rah Hiro lalu berkata,” Hiro, maafkan aku…”
Gon-chan mengajak Hiro untuk pulang. Sebelum pulang, Gon-chan berterima kasih pada Takuya yang telah menjaga Hiro. Takuya mengatakan pada Gon-chan bahwa Hiro menunggu Gon-chan sepanjang waktu.
“Hiro memang lucu ya…,” kata Takuya.
Gon-chan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. “Menunggu kedatangan kakanya tanpa menangis, kurasa itu bisa dibilang lucu…,” lanjut Takuya. Takuya mengatakan pada Gon-chan bahwa bagaimanapun juga Gon-chan adalah kakaknya Hiro. Takuya pun berusaha untuk menjadi kakak yang baik untuk Minoru.
Gon-chan mengusap rambut Minoru. “Yah…bagaimanapun juga kamu memang hebar Minoru!” puji Gon-chan. “Kamu mempertaruhkan nyawamu demi melindungi anak perempuan. Itulah yang disebut lelai sejati.”
Takuya terkejut. “Hah? Anak perempuan? Siapa yang anak perempuan?” tanya Takuya memastikan.
“Apa maksudmu siapa? Hiro satu-satunya anak perempuan disini. Namanya Gotou Hiroko,” jelas Gon-chan.
Minoru dan Takuya terkejut. Mereka seperti tidak percaya bahwa Hiro adalah anak perempuan. “A-apa?? Kamu tidak pernah bilang kalau dia itu anak perempuan!” kata Takuya.
“Apa yang kau harapkan, bodoh? Ketika aku memperkenalkannya apa aku harus bilang, ‘Ini Hiro, adik laki-lakiku’?!” kata Gon-chan.
“Aku…yah..gimana ya…,” kata Takuya salah tingkah.
“Lihat baik-baik, dia jelas-jelas anak perempuan,” kata Gon-chan sambil mendekatkan Hiro pada Minoru.
Hiro memegang tangan Minoru. Dia terlihat menyukai Minoru. Gon-chan mengatakan bahwa Hiro jatuh cinta pada Minoru. Minoru terihat takut pada Hiro. Gon-chan berseloroh bahwa sebagai kakak ia harus mendukung kisah cinta ini. Takuya hanya melihat Minoru dengan bingung.
Di rumah Gon-chan, Gon-chan menceritakan bahwa Hiro menyukai seseorang. Papa Gon-chan pun mendukung Hiro. Gon-chan pun mengatakan bahwa ia juga akan mendukung Hiro. Hiro membayangkan wajah Minoru. Sedangkan di rumah Takuya, Minoru sedang demam dan mengigau setelah kejadian itu.

Bersambung ke Sinopsis Anime : Akachan To Boku Episode 4

Rabu, 26 Februari 2014

Sinopsis Anime : Akachan To Boku Episode 2



Minoru menangis di pelukan Mama Takuya. Mama Takuya meminta Minoru untuk tersenyum. Papa Takuya sedang memfokuskan kameranya ke arah Mama Takuya dan Minoru. Setelah siap, Papa Takuya memanggil Takuya yang sedang bermain sepak bola sendiri. Takuya pun berlari kea rah Papanya.
“Bolehkah aku yang pencet tombolnya?” tanya Takuya.
“Kau yakin? Posisinya sudah sempurna jadi jangan sentuh apapun, oke?” jawab Papa Takuya.
“Percayakan padaku, Papa,” kata Takuya.
Papa Takuya pun berlari ke arah Mama dan Minoru. Ia mencoba menghibur Minoru agar tidak menangis. Setelah semua siap, Takuya pun berlari kea rah Mama dan Papanya. Karena kurang berhati-hati ia pun tersandung oleh bolanya dan terjatuh. Melihat Takuya terjatuh, Minoru pun tertawa. Takuya beranjak dan berpose walaupun wajahnya penuh dengan tanah.

Mama Takuya telah meninggal dunia. Meninggalkan Papa Takuya, Takuya  dan Minoru. Minoru tidak memiliki kenangan dengan Mama Takuya. Takuya pun berpikir bahwa Minoru tidak merasa kesepian. Namun, sesungguhnya ia merasa kasihan pada Minoru. Karena ia adalah kakaknya.
Takuya melihat kea rah Minoru yang sedang asyik menonton TV. Minoru menari-nari menirukan gerakan tari yang ada di TV. “Eh, aku kan tidak tahu apakah Minoru kesepian atau tidak,” kata Takuya dalam hati.
Papa menegur Takuya. Ia meminta Takuya untuk mengantarkan Minoru ke TK pagi itu. Takuya pun berkata bahwa ia baru saja akan pergi. Takuya pun berkata pada Minoru yang masih asyik menari bahwa ia akan mengantarkan Minoru ke TK hari ini.
“Dan satu hal lagi, Papa ada rapat hari ini jadi akan pulang larut malam,” kata Papa Takuya.
“Oh, begitu.”
“Aku minta maaf mengenai makan malamnya, tapi…,” kata Papa Takuya khawatir.
“Tak apa Papa! Aku akan memesan sesuatu,” kata Takuya.

Papa Takuya memeluk Takuya dan mengatakan bahwa Takuya adalah anak laki-laki yang bisa diandalkan. Minoru iri karena hanya Takuya yang dipuji Papa. Papa Takuya pun mengatakan bahwa Minoru juga anak baik. Lalu Takuya menggandeng tangan Minoru untuk segera berangkat ke TK Minoru. Papa Takuya menemukan dompet Takuya yang tertinggal. Tanpa sengaja ia mlihat foto keluarga yang ada di dompet Takuya.
“Takuya! Ini, dompetmu, dompetmu,” panggil Papa Takuya sambil berjalan ke depan pintu dan memberikan dompet Takuya pada Takuya.
“Oh, aku lupa,” kata Takuya. “Aku seharusnya membeli popok Minoru sepulang sekolah.”
Papa Takuya tertawa. “Kau belum pernah membawa dompet sebelumnya, kan?” Takuya dan Minoru pun berpamitan pada Papa Takuya dan berangkat menuju TK.
 Di TK, suasanya begitu ramai. Banyak sekali orangtua yang mengantarkan anaknya. Minoru berlari dengan diikuti Takuya yang takut Minoru terjatuh. Langkah Minoru terhenti. Takuya pun ikut berhenti. Minoru melihat ke arah ibu-ibu yang sedang mengantarkan anaknya. Ia menatap Minoru dan mencoba memahami apa yang dirasakan Minoru.
Di dalam lapangan TK, seorang pria berkostum babi membawa sebuah keranjang berisi permen dan memberikan permen untuk anak-anak. Semua anak-anak pun berlari menghampirinya untuk meminta permen. Ternyata pria berkostum itu adalah Pak Kepala Sekolah.
“Ini adalah hadiah untuk anak-anak yang semangat dan rajin datang ke sekolah,” kata Pak Kepala sekolah sambil membagikan permen pada anak-anak.
Minoru berjalan menuju lapangan. Ia melihat Pak Kepala sekolah sedang membagikan permen. Mata Minoru membulat. Ia pun berlari menuju Pak Kepala Sekolah dengan semangat untuk mendapatkan permen. Pak Kepala Sekolah pun memberikan sebungkus permen untuk Minoru dan Minoru terlihat sangat senang. Pak Kepala Sekolah melihat ke arah Takuya sambil tersenyum. Takuya tersentak. Ia tersenyum lalu memberi salam dan meninggalkan sekolah Minoru.

Di sekolah, Tamadate memamerkan bola basket miliknya yang baru datang dari Amerika dan ia harus memasukkan bola basket itu ke ring. Gon-chan mengambil bola basket Tamadate dan mengatakan bahwa memasukkan bola ke ring itu terdengar keren. Apalagi jika orang dewas melakukan slam dunk ke ring. Dua anak perempuan yang sedang mengobrol pun melihat kea rah Gon-chan dan Tamadate. Fuji kun pun mengatakan bahwa ia pernah melihatnya di majalah kakaknya.
“Di Amerika, sangat mudah sekali mendapatkan sesuatu dan bahkan membeli bola basket sekalipun,” kata Fuji-kun.
“Benarkah?” kata Takuya dengan mata membulat.
“Kalian tahu…Papaku menggunakan komputer setiap waktu, jadi dia membelikannya untukku melalui internet,” kata Tamadate. “Hei, hei, Takuya-kun dan Fuji-kun, kalian mau mampir ke rumahku hari ini?”
“Hah?”
“Untuk menyambut kedatangan bola basket baru ini, ayo kita main basket sama-sama!” ajak Tamadate.
“Itu ide yang bagus,” kata Gon-chan.
Tamadate mengambil bola basket yang dipegang Gon-chan dan mengatakan bahwa ia tak mengajak Gon-chan. Ia pun bertanya pada Takuya apakah ia mau ikut. Takuya berpikir apakah ia ikut atau tidak.

                Takuya membayangkan dirinya sedang bertanding basket. Ia akan melakukan slam dunk dan ia terlihat sangat senang. Bola bergulir ke arahnya dan tiba-tiba bolanya berubah menjadi sekardus popok bayi. “Bola basket ya…”
                Takuya berdiri di dekat palang pintu sambil menunggu kereta yang sedang lewat.  Kereta telah lewat dan Takuya pun berjalan menuju TK Minoru. Sesampainya di TK, ternyata Minoru sedang menangis. Bu Guru Mayumi mengatakan bahwa Takuya datang terlambat dan itu membuat Minoru menangis.
 “Apa? Aku datang terlambat?” tanya Takuya memastikan.
“Kakak…,” kata Minoru sambil memeluk kaki Takuya.
“Benar kan…,” kata Bu Guru Mayumi. “Minoru-chan, apa kamu senang sekarang kakak datang menjemputmu?”
Takuya berkata dalam hati ia bahkan tidak punya waktu untuk bermain basket. Bu Guru Mayumi mengatakan pada Takuya bahwa Minoru mengompol sewaktu tidur siang. Bu Guru Mayumi tahu bahwa Takuya sibuk dan meminta Takuya membawa sprei Minoru ke rumah. Takuya melihat ke arah Minoru. Minoru tersenyum lebar.

Takuya menyuruh Minoru untuk menunggunya sementara ia mengambil sprei-nya. Ia meminta seorang anak untuk menjaga Minoru sebentar. Bu Guru Mayumi mengambil sprei Minoru yang ia letakkan di dalam lemari dan memberikannya pada Takuya.
“Takuya-kun, aku sangat bangga padamu,” kata Bu Guru Mayumi. “Kamu benar-benar merawat Minoru-chan dengan baik dan kurasa itu keren!”
“Nggak juga…,” kata Takuya merendah.
Minoru dengan bermain dengan seorang anak yang Takuya minta untuk menjaga Minoru. Anak itu membuat sebuah menara. Minoru ingin menambah tumbukan di atas menara yang selesai dibuat oleh anak itu, tapi anak itu meminta Minoru untuk tidak menambah tumpukan lagi. Mama anak itu datang menjemput anak itu.
“Kamu telat, benar-benar telat!!” kata anak itu pada Mamanya.
“Oh, tidak! Apa kamu menangis, Masa-kun?” tanya Mama anak itu.
“Aku tidak menangis,” kata anak itu.
Minoru melihat kearah anak itu dan Mamanya. Minoru berdiri sambil melihat ke arah anak itu. Takuya berjalan cepat menuju ke ruang kelas Minoru.Takuya melihat Minoru memukul kepala anak itu sehingga membuat anak itu menangis. Ibu anak itu pun khawatir pada anaknya. Ibu Guru Hitomi datang ke kelas untuk melihat keributan di kelasnya.

“Ada apa?” tanya Bu Guru Hitomi.
“Kenapa juga anak ini?! Ini kesalahan Ibunya!” kata  Ibu anak itu.
Minoru terlihat marah. Sedangkan Ibu anak itu memberitahukan Bu Guru Hitomi apa yang telah dilakukan Minoru. Takuya hanya tertegun melihat apa yang telah terjadi. Ibu anak itu terus menyalahkan Mama Takuya karena kesal. Takuya pun mulai kesal dan membentak Minoru.
“Kakak…,” kata Minoru dengan manja.
“Minta maaf!” bentak Takuya. “Minta maaf sekarang!! Ayo minta maaf!!!”
Minoru menangis sambil memeluk kaki Takuya. “Aku minta maaf…Aku kakaknya,” kata Takuya sambil membungkuk meminta maaf. Dalam hati Takuya menyalahkan Minoru karena Minoru membuat Mama Takuya dijelek-jelekkan oleh orang lain.

Di rumah Takuya mengatakan pada Papanya apa yang telah Minoru lakukan. Takuya merasa ketakutan. Papa Takuya menanyakan pada Takuya apa yang membuat Minoru memukul temannya. Takuya tidak tahu mengapa dan ia engatakan bahwa itu kesalahan Minoru sehingga Ibu anak itu marah dan menjelek-jelekkan Mama Takuya.
“Jadi begitu ya,” kata Papa Takuya.
Minoru terbangun dari tidurnya. Papa menanyakan pada Minoru apa yang terjadi padanya. Minoru melihat ke arah Takuya yang terlihat marah. Takuya memalingkan wajahnya dan membuat Minoru menangis. Papa Takuya menggendong Minoru dan memeluknya untuk menenangkan Minoru.
“Takuya…sudahlah. Maafkan dia,” kata Papa Takuya. “Minoru sudah minta maaf kan?”
“Dia tidak kelihatan menyesal sama sekali!” kata Takuya dengan nada tinggi. “Dia selalu berlagak tidak bersalah ketika hal-hal seperti ini terjadi.”
Minoru melihat Takuya sambil menangis. Ia memeluk Papanya sambil berkata ‘Mama’. Takuya terhenyak mendengar hal itu. Papa menatap Takuya. Takuya terlihat menyesal setelah mendengar Minoru mengatakan Mama.

Di pagi yang cerah, Papa Takuya mengajak Takuya dan Minoru untuk pergi piknik. Ia sudah merencanakannya tapi ia tidak memberitahukan pada Takuya karena ia tidak tahu keadaan cuaca hari ini. Semuanya sudah disiapkan oleh Papa Takuya. Minoru berjalan ke arah kudapan di pinggir meja.
“Iya, aku membeli banyak kudapan!” kata Papa Takuya.
Papa Takuya menyuruh Takuya untuk bersiap-siap. Takuya tersenyum. “Iya,” kata Takuya.
Setelah Papa, Takuya dan Minoru sampai di tujuan, di depan stasiun seorang wanita berdiri menyambut Papa Takuya dengan senyumannya. Papa Takuya pun menyapanya dan membuat Takuya terkejut. Ia melihat ke seorang perempuan yang membawa keranjang dan berjalan kea rah mereka.
“Mereka berdua sungguh mirip Enoki-san!” kata perempuan itu.
“Tentu saja,” kata Papa Takuya. Papa Takuya pun memperkenalkan Takuya bahwa perempuan itu adalah teman kerja Papa Takuya, Otani-san. Papa Takuya mengatakan bahwa Otani-san adalah tamu istimewa mereka hari ini.
“Kamu kakaknya, Takuya-kun kan?” tanya Otani-san memastikan. Otani-san mengatakan pada Takuya untuk menganggapnya sebagai Mamanya untuk hari ini saja. Takuya hanya mengangguk dengan berat, tapi Minoru dengan polosnya memanggil Otani-san dengan sebutan Mama.

Papa Takuya mendekati Otani-san dan mengatakan bahwa Minoru sepertinya menyukai Otani-kun. Otani-san mengatakan pada Papa Takuya bahwa ia sudah sangat akrab dengan keponakannya. Takuya merasa aneh. Ia terlihat tidak senang dengan hal ini.
“Oke, ayo pergi, Takuya-kun!” ajak Otani-san. Takuya mencoba tersenyum sambil melihat ke arah Otani-san yang menggendong Minoru. Ia berjalan sambil menunduk.
Minoru dan Otani-san sedang bermain lempar bola. Dan Minoru terlihat sangat senang. Di kejauhan, Papa Takuya dan Takuya bersantai di dekat sebuah pohon. Papa Takuya tahu ada yang aneh dengan Takuya. “Ada apa, Takuya?” tanya Papa Takuya.
“Heh?”
“Kamu kelihatan tidak senang Otani-san datang bersenang-senang bersama dengan kita,” kata Papa Takuya. “Kamu tidak menyukai Otani-san kan?”
“Bagaimana denganmu Papa? Kamu menyukainya kan?” tanya Takuya.
“Suka? Apa yang kamu bicarakan, Takuya?” tanya Papa Takuya tak mengerti.
Takuya mengatakan pada Papanya bahwa ia tidak butuh Mama sehari. Papa Takuya mencoba menghibur Takuya dengan mengatakan bahwa Minoru terlihat senang dan Otani-san juga berusaha keras untuk membuat Minoru senang. Papa Takuya mengatakan bahwa ia mengerti bagaimana perasaan Takuya, tapi ia ingin Minoru dan Otani-san bermain bersama.

“Papa, bagaimana denganku?” tanya Takuya sedih.
“Hah?”
“Bagaimana dengan perasaanku?” tanya Takuya lagi. “Papa, kau selalu saja mengutamakan perhatianmu pada Minoru. Kenapa aku harus menderita seperti ini? Kenapa harus aku?”
Papa Takuya diam sejenak. Ia lalu berkata bahwa Takuya adalah kakaknya. Takuya mulai merasa kesal. Ia mengatakan bahwa ia tidak mau menjadi kakaknya dan mengatakan bahwa ia membenci Minoru. Tanpa sadar Papa Takuya menampar Takuya.
“Takuya, tabahkan dirimu,” kata Papa Takuya. Takuya terdiam. Papa Takuya meninggalkan Takuya untuk berpikir dan memilih untuk bergabung bersama Otani-san dan Minoru yang sedang bermain.
Takuya duduk sendirian dan memikirkan kata-katanya. Otani-san menanyakan apa yang terjadi pada Takuya pada Papa Takuya. Papa Takuya hanya mengatakan pada Otani-san untuk tidak mengkhawatirkan Takuya.
Hari sudah semakin sore. Papa, Takuya, Minoru dan Otani-san menunggu kereta yang akan membawa mereka pulang. “Yah, terima kasih atas hari ini!” kata Papa Takuya pada Otani-san.
“Oh tidak…Akulah yang seharusnya berterima kasih, Enoki-san,” kata Otani-san. “Aku benar-benar bersenang-senang! Iya kan, Minoru-kun,” lanjut Otani-san sambil menyentuh pipi Minoru.

“Mama…”
“Ayolah, Minoru… Kamu janji kalau kalmu akan bilang dadah…,” kata Papa Takuya pada Minoru.
Otani-san tersenyum. Ia berkata kalau ia harus berusaha keras. “Kalau tidak bersungguh-sungguh, aku tidak akan bisa bersahabat dengan anakku,” kata Otani-san.
Takuya terkejut. Ia tak mengerti apa yang dikatakan Otani-san barusan. “Dia akan segera menikah,” kata Papa Takuya pada Takuya.
“Papamu benar. Tunanganku punya seorang anak seumuran Takuya,” kata Otani-san. “Aku terlalu takut untuk akrab dengannya sebagai seorang Mama.”
Otani-san mengatakan bahwa bertemu dengan Takuya dan Minoru hari ini membuatnya merasa bahwa ia sanggup melakukannya. Takuya terlihat menyesal. Otani-san berkata bahwa ia tidak akan pernah bisa menjadi Mama kandung dan ia tahu bahwa ia salah jika berpikiran bahwa ia bisa jadi Mama untuk anak tirinya nanti. Otani-kun berpikir bahwa ia dan anak tirinya nanti akan saling akur dan cocok.
“Anak yang kehilangan Mamanya dan bagaimana perasaannya, kurasa  aku bisa merawatnya dari jauh, seperti Papamu,” kata Otani-san. Takuya hanya menatap Otani-san tanpa mengatakan apapun.
Otani-san mengucapkan terima kasih pada Takuya dan mengulurkan tangannya. Takuya berkata bahwa ia tidak melakukan apapun dan ia juga terlihat tidak ramah pada Otani-san. Otani-san yang masih mengulurkan tangannya bertanya pada Takuya apakah Takuya ingin membuatnya malu di hadapan semua orang karena Takuya belum membalas uluran tangan Otani-san. Takuya yang sadar dari lamunannya pun meminta maaf lalu membalas uluran tangan Otani-san.

Otani-san masuk ke dalam kereta dan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Papa Takuya dan Takuya tersenyum pada Otani-san. Papa Takuya tersadar bahwa Minoru tertidur dalam gendongannya.
“Apa? Benarkah?” tanya Takuya memastikan.
Papa Takuya terdiam. “Takuya, maafkan aku yang memukulmu tadi,” kata Papa Takuya.
“Papa, aku juga minta maaf karena telah berbohong,” kata Takuya. “Ketika aku bilang aku benci Minoru…”
“Aku tahu…,” kata Papa Takuya sambil tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari Minoru. “Takuya, apa kamu masih punya popok?” tanya Papa Takuya dengan panik.
“Aku mengganti popoknya tadi dan itu yang terakhir,” jawab Takuya.
Oh…Minoru…Aku harap ia tidak buang air,” kata Papa Takuya. Papa Takuya dan Takuya pun masuk ke dalam gerbong kereta.
Takuya adalah kakak Minoru, dan ia harus banyak sabar atas semua hal yang terjadi. Dan mungkin ia harus banyak bersabar kedepannya.
"Tapi itu tak apa-apa, karena aku adalah kakaknya Minoru..."