Minoru menangis di pelukan Mama Takuya. Mama Takuya meminta
Minoru untuk tersenyum. Papa Takuya sedang memfokuskan kameranya ke arah Mama
Takuya dan Minoru. Setelah siap, Papa Takuya memanggil Takuya yang sedang
bermain sepak bola sendiri. Takuya pun berlari kea rah Papanya.
“Bolehkah aku yang pencet tombolnya?” tanya Takuya.
“Kau yakin? Posisinya sudah sempurna jadi jangan sentuh
apapun, oke?” jawab Papa Takuya.
“Percayakan padaku, Papa,” kata Takuya.
Papa Takuya pun berlari ke arah Mama dan Minoru. Ia mencoba
menghibur Minoru agar tidak menangis. Setelah semua siap, Takuya pun berlari kea
rah Mama dan Papanya. Karena kurang berhati-hati ia pun tersandung oleh bolanya
dan terjatuh. Melihat Takuya terjatuh, Minoru pun tertawa. Takuya beranjak dan
berpose walaupun wajahnya penuh dengan tanah.
Mama Takuya telah meninggal dunia. Meninggalkan Papa
Takuya, Takuya dan Minoru. Minoru tidak
memiliki kenangan dengan Mama Takuya. Takuya pun berpikir bahwa Minoru tidak
merasa kesepian. Namun, sesungguhnya ia merasa kasihan pada Minoru. Karena ia
adalah kakaknya.
Takuya melihat kea rah Minoru yang sedang asyik menonton
TV. Minoru menari-nari menirukan gerakan tari yang ada di TV. “Eh, aku kan
tidak tahu apakah Minoru kesepian atau tidak,” kata Takuya dalam hati.
Papa menegur Takuya. Ia meminta Takuya untuk mengantarkan
Minoru ke TK pagi itu. Takuya pun berkata bahwa ia baru saja akan pergi. Takuya
pun berkata pada Minoru yang masih asyik menari bahwa ia akan mengantarkan
Minoru ke TK hari ini.
“Dan satu hal lagi, Papa ada rapat hari ini jadi akan
pulang larut malam,” kata Papa Takuya.
“Oh, begitu.”
“Aku minta maaf mengenai makan malamnya, tapi…,” kata Papa
Takuya khawatir.
“Tak apa Papa! Aku akan memesan sesuatu,” kata Takuya.
Papa Takuya memeluk Takuya dan mengatakan bahwa Takuya
adalah anak laki-laki yang bisa diandalkan. Minoru iri karena hanya Takuya yang
dipuji Papa. Papa Takuya pun mengatakan bahwa Minoru juga anak baik. Lalu
Takuya menggandeng tangan Minoru untuk segera berangkat ke TK Minoru. Papa
Takuya menemukan dompet Takuya yang tertinggal. Tanpa sengaja ia mlihat foto
keluarga yang ada di dompet Takuya.
“Takuya! Ini, dompetmu, dompetmu,” panggil Papa Takuya
sambil berjalan ke depan pintu dan memberikan dompet Takuya pada Takuya.
“Oh, aku lupa,” kata Takuya. “Aku seharusnya membeli popok
Minoru sepulang sekolah.”
Papa Takuya tertawa. “Kau belum pernah membawa dompet
sebelumnya, kan?” Takuya dan Minoru pun berpamitan pada Papa Takuya dan
berangkat menuju TK.
Di TK, suasanya begitu ramai. Banyak sekali orangtua yang
mengantarkan anaknya. Minoru berlari dengan diikuti Takuya yang takut Minoru
terjatuh. Langkah Minoru terhenti. Takuya pun ikut berhenti. Minoru melihat ke
arah ibu-ibu yang sedang mengantarkan anaknya. Ia menatap Minoru dan mencoba
memahami apa yang dirasakan Minoru.
Di dalam lapangan TK, seorang pria berkostum babi membawa
sebuah keranjang berisi permen dan memberikan permen untuk anak-anak. Semua
anak-anak pun berlari menghampirinya untuk meminta permen. Ternyata pria
berkostum itu adalah Pak Kepala Sekolah.
“Ini adalah hadiah untuk anak-anak yang semangat dan rajin
datang ke sekolah,” kata Pak Kepala sekolah sambil membagikan permen pada
anak-anak.
Minoru berjalan menuju lapangan. Ia melihat Pak Kepala
sekolah sedang membagikan permen. Mata Minoru membulat. Ia pun berlari menuju
Pak Kepala Sekolah dengan semangat untuk mendapatkan permen. Pak Kepala Sekolah
pun memberikan sebungkus permen untuk Minoru dan Minoru terlihat sangat senang.
Pak Kepala Sekolah melihat ke arah Takuya sambil tersenyum. Takuya tersentak.
Ia tersenyum lalu memberi salam dan meninggalkan sekolah Minoru.
Di sekolah, Tamadate memamerkan bola basket miliknya yang
baru datang dari Amerika dan ia harus memasukkan bola basket itu ke ring.
Gon-chan mengambil bola basket Tamadate dan mengatakan bahwa memasukkan bola ke
ring itu terdengar keren. Apalagi jika orang dewas melakukan slam dunk ke ring.
Dua anak perempuan yang sedang mengobrol pun melihat kea rah Gon-chan dan
Tamadate. Fuji kun pun mengatakan bahwa ia pernah melihatnya di majalah
kakaknya.
“Di Amerika, sangat mudah sekali mendapatkan sesuatu dan
bahkan membeli bola basket sekalipun,” kata Fuji-kun.
“Benarkah?” kata Takuya dengan mata membulat.
“Kalian tahu…Papaku menggunakan komputer setiap waktu, jadi
dia membelikannya untukku melalui internet,” kata Tamadate. “Hei, hei,
Takuya-kun dan Fuji-kun, kalian mau mampir ke rumahku hari ini?”
“Hah?”
“Untuk menyambut kedatangan bola basket baru ini, ayo kita
main basket sama-sama!” ajak Tamadate.
“Itu ide yang bagus,” kata Gon-chan.
Tamadate mengambil bola basket yang dipegang Gon-chan dan
mengatakan bahwa ia tak mengajak Gon-chan. Ia pun bertanya pada Takuya apakah
ia mau ikut. Takuya berpikir apakah ia ikut atau tidak.
Takuya membayangkan dirinya
sedang bertanding basket. Ia akan melakukan slam dunk dan ia terlihat sangat
senang. Bola bergulir ke arahnya dan tiba-tiba bolanya berubah menjadi sekardus
popok bayi. “Bola basket ya…”
Takuya berdiri di dekat palang
pintu sambil menunggu kereta yang sedang lewat.
Kereta telah lewat dan Takuya pun berjalan menuju TK Minoru. Sesampainya
di TK, ternyata Minoru sedang menangis. Bu Guru Mayumi mengatakan bahwa Takuya
datang terlambat dan itu membuat Minoru menangis.
“Apa? Aku datang
terlambat?” tanya Takuya memastikan.
“Kakak…,” kata Minoru sambil memeluk kaki Takuya.
“Benar kan…,” kata Bu Guru Mayumi. “Minoru-chan, apa kamu senang
sekarang kakak datang menjemputmu?”
Takuya berkata dalam hati ia bahkan tidak punya waktu untuk
bermain basket. Bu Guru Mayumi mengatakan pada Takuya bahwa Minoru mengompol sewaktu
tidur siang. Bu Guru Mayumi tahu bahwa Takuya sibuk dan meminta Takuya membawa sprei
Minoru ke rumah. Takuya melihat ke arah Minoru. Minoru tersenyum lebar.
Takuya menyuruh Minoru untuk menunggunya sementara ia
mengambil sprei-nya. Ia meminta seorang anak untuk menjaga Minoru sebentar. Bu
Guru Mayumi mengambil sprei Minoru yang ia letakkan di dalam lemari dan memberikannya
pada Takuya.
“Takuya-kun, aku sangat bangga padamu,” kata Bu Guru Mayumi. “Kamu
benar-benar merawat Minoru-chan dengan baik dan kurasa itu keren!”
“Nggak juga…,” kata Takuya merendah.
Minoru dengan bermain dengan seorang anak yang Takuya minta
untuk menjaga Minoru. Anak itu membuat sebuah menara. Minoru ingin menambah
tumbukan di atas menara yang selesai dibuat oleh anak itu, tapi anak itu
meminta Minoru untuk tidak menambah tumpukan lagi. Mama anak itu datang
menjemput anak itu.
“Kamu telat, benar-benar telat!!” kata anak itu pada
Mamanya.
“Oh, tidak! Apa kamu menangis, Masa-kun?” tanya Mama anak
itu.
“Aku tidak menangis,” kata anak itu.
Minoru melihat kearah anak itu dan Mamanya. Minoru berdiri
sambil melihat ke arah anak itu. Takuya berjalan cepat menuju ke ruang kelas
Minoru.Takuya melihat Minoru memukul kepala anak itu sehingga membuat anak itu
menangis. Ibu anak itu pun khawatir pada anaknya. Ibu Guru Hitomi datang ke
kelas untuk melihat keributan di kelasnya.
“Ada apa?” tanya Bu Guru Hitomi.
“Kenapa juga anak ini?! Ini kesalahan Ibunya!” kata Ibu anak itu.
Minoru terlihat marah. Sedangkan Ibu anak itu memberitahukan
Bu Guru Hitomi apa yang telah dilakukan Minoru. Takuya hanya tertegun melihat apa yang
telah terjadi. Ibu anak itu terus menyalahkan Mama Takuya karena kesal. Takuya
pun mulai kesal dan membentak Minoru.
“Kakak…,” kata Minoru dengan manja.
“Minta maaf!” bentak Takuya. “Minta maaf sekarang!! Ayo
minta maaf!!!”
Minoru menangis sambil memeluk kaki Takuya. “Aku minta maaf…Aku
kakaknya,” kata Takuya sambil membungkuk meminta maaf. Dalam hati Takuya
menyalahkan Minoru karena Minoru membuat Mama Takuya dijelek-jelekkan oleh
orang lain.
Di rumah Takuya mengatakan pada Papanya apa yang telah
Minoru lakukan. Takuya merasa ketakutan. Papa Takuya menanyakan pada Takuya apa
yang membuat Minoru memukul temannya. Takuya tidak tahu mengapa dan ia
engatakan bahwa itu kesalahan Minoru sehingga Ibu anak itu marah dan
menjelek-jelekkan Mama Takuya.
“Jadi begitu ya,” kata Papa Takuya.
Minoru terbangun dari tidurnya. Papa menanyakan pada Minoru
apa yang terjadi padanya. Minoru melihat ke arah Takuya yang terlihat marah.
Takuya memalingkan wajahnya dan membuat Minoru menangis. Papa Takuya
menggendong Minoru dan memeluknya untuk menenangkan Minoru.
“Takuya…sudahlah. Maafkan dia,” kata Papa Takuya. “Minoru
sudah minta maaf kan?”
“Dia tidak kelihatan menyesal sama sekali!” kata Takuya
dengan nada tinggi. “Dia selalu berlagak tidak bersalah ketika hal-hal seperti
ini terjadi.”
Minoru melihat Takuya sambil menangis. Ia memeluk Papanya
sambil berkata ‘Mama’. Takuya terhenyak mendengar hal itu. Papa menatap Takuya.
Takuya terlihat menyesal setelah mendengar Minoru mengatakan Mama.
Di pagi yang cerah, Papa Takuya mengajak Takuya dan Minoru
untuk pergi piknik. Ia sudah merencanakannya tapi ia tidak memberitahukan pada
Takuya karena ia tidak tahu keadaan cuaca hari ini. Semuanya sudah disiapkan
oleh Papa Takuya. Minoru berjalan ke arah kudapan di pinggir meja.
“Iya, aku membeli banyak kudapan!” kata Papa Takuya.
Papa Takuya menyuruh Takuya untuk bersiap-siap. Takuya
tersenyum. “Iya,” kata Takuya.
Setelah Papa, Takuya dan Minoru sampai di tujuan, di depan
stasiun seorang wanita berdiri menyambut Papa Takuya dengan senyumannya. Papa
Takuya pun menyapanya dan membuat Takuya terkejut. Ia melihat ke seorang perempuan
yang membawa keranjang dan berjalan kea rah mereka.
“Mereka berdua sungguh mirip Enoki-san!” kata perempuan
itu.
“Tentu saja,” kata Papa Takuya. Papa Takuya pun
memperkenalkan Takuya bahwa perempuan itu adalah teman kerja Papa Takuya, Otani-san.
Papa Takuya mengatakan bahwa Otani-san adalah tamu istimewa mereka hari ini.
“Kamu kakaknya, Takuya-kun kan?” tanya Otani-san
memastikan. Otani-san mengatakan pada Takuya untuk menganggapnya sebagai
Mamanya untuk hari ini saja. Takuya hanya mengangguk dengan berat, tapi Minoru
dengan polosnya memanggil Otani-san dengan sebutan Mama.
Papa Takuya mendekati Otani-san dan mengatakan bahwa Minoru
sepertinya menyukai Otani-kun. Otani-san mengatakan pada Papa Takuya bahwa ia
sudah sangat akrab dengan keponakannya. Takuya merasa aneh. Ia terlihat tidak
senang dengan hal ini.
“Oke, ayo pergi, Takuya-kun!” ajak Otani-san. Takuya
mencoba tersenyum sambil melihat ke arah Otani-san yang menggendong Minoru. Ia
berjalan sambil menunduk.
Minoru dan Otani-san sedang bermain lempar bola. Dan Minoru
terlihat sangat senang. Di kejauhan, Papa Takuya dan Takuya bersantai di dekat
sebuah pohon. Papa Takuya tahu ada yang aneh dengan Takuya. “Ada apa, Takuya?”
tanya Papa Takuya.
“Heh?”
“Kamu kelihatan tidak senang Otani-san datang
bersenang-senang bersama dengan kita,” kata Papa Takuya. “Kamu tidak menyukai
Otani-san kan?”
“Bagaimana denganmu Papa? Kamu menyukainya kan?” tanya
Takuya.
“Suka? Apa yang kamu bicarakan, Takuya?” tanya Papa Takuya
tak mengerti.
Takuya mengatakan pada Papanya bahwa ia tidak butuh Mama
sehari. Papa Takuya mencoba menghibur Takuya dengan mengatakan bahwa Minoru
terlihat senang dan Otani-san juga berusaha keras untuk membuat Minoru senang.
Papa Takuya mengatakan bahwa ia mengerti bagaimana perasaan Takuya, tapi ia
ingin Minoru dan Otani-san bermain bersama.
“Papa, bagaimana denganku?” tanya Takuya sedih.
“Hah?”
“Bagaimana dengan perasaanku?” tanya Takuya lagi. “Papa,
kau selalu saja mengutamakan perhatianmu pada Minoru. Kenapa aku harus
menderita seperti ini? Kenapa harus aku?”
Papa Takuya diam sejenak. Ia lalu berkata bahwa Takuya
adalah kakaknya. Takuya mulai merasa kesal. Ia mengatakan bahwa ia tidak mau
menjadi kakaknya dan mengatakan bahwa ia membenci Minoru. Tanpa sadar Papa
Takuya menampar Takuya.
“Takuya, tabahkan dirimu,” kata Papa Takuya. Takuya
terdiam. Papa Takuya meninggalkan Takuya untuk berpikir dan memilih untuk
bergabung bersama Otani-san dan Minoru yang sedang bermain.
Takuya duduk sendirian dan memikirkan kata-katanya.
Otani-san menanyakan apa yang terjadi pada Takuya pada Papa Takuya. Papa Takuya
hanya mengatakan pada Otani-san untuk tidak mengkhawatirkan Takuya.
Hari sudah semakin sore. Papa, Takuya, Minoru dan Otani-san
menunggu kereta yang akan membawa mereka pulang. “Yah, terima kasih atas hari
ini!” kata Papa Takuya pada Otani-san.
“Oh tidak…Akulah yang seharusnya berterima kasih,
Enoki-san,” kata Otani-san. “Aku benar-benar bersenang-senang! Iya kan,
Minoru-kun,” lanjut Otani-san sambil menyentuh pipi Minoru.
“Mama…”
“Ayolah, Minoru… Kamu janji kalau kalmu akan bilang dadah…,”
kata Papa Takuya pada Minoru.
Otani-san tersenyum. Ia berkata kalau ia harus berusaha
keras. “Kalau tidak bersungguh-sungguh, aku tidak akan bisa bersahabat dengan
anakku,” kata Otani-san.
Takuya terkejut. Ia tak mengerti apa yang dikatakan
Otani-san barusan. “Dia akan segera menikah,” kata Papa Takuya pada Takuya.
“Papamu benar. Tunanganku punya seorang anak seumuran
Takuya,” kata Otani-san. “Aku terlalu takut untuk akrab dengannya sebagai
seorang Mama.”
Otani-san mengatakan bahwa bertemu dengan Takuya dan Minoru
hari ini membuatnya merasa bahwa ia sanggup melakukannya. Takuya terlihat
menyesal. Otani-san berkata bahwa ia tidak akan pernah bisa menjadi Mama
kandung dan ia tahu bahwa ia salah jika berpikiran bahwa ia bisa jadi Mama untuk
anak tirinya nanti. Otani-kun berpikir bahwa ia dan anak tirinya nanti akan
saling akur dan cocok.
“Anak yang kehilangan Mamanya dan bagaimana perasaannya,
kurasa aku bisa merawatnya dari jauh,
seperti Papamu,” kata Otani-san. Takuya hanya menatap Otani-san tanpa
mengatakan apapun.
Otani-san mengucapkan terima kasih pada Takuya dan
mengulurkan tangannya. Takuya berkata bahwa ia tidak melakukan apapun dan ia
juga terlihat tidak ramah pada Otani-san. Otani-san yang masih mengulurkan
tangannya bertanya pada Takuya apakah Takuya ingin membuatnya malu di hadapan
semua orang karena Takuya belum membalas uluran tangan Otani-san. Takuya yang
sadar dari lamunannya pun meminta maaf lalu membalas uluran tangan Otani-san.
Otani-san masuk ke dalam kereta dan melambaikan tangannya
sambil tersenyum. Papa Takuya dan Takuya tersenyum pada Otani-san. Papa Takuya
tersadar bahwa Minoru tertidur dalam gendongannya.
“Apa? Benarkah?” tanya Takuya memastikan.
Papa Takuya terdiam. “Takuya, maafkan aku yang memukulmu
tadi,” kata Papa Takuya.
“Papa, aku juga minta maaf karena telah berbohong,” kata
Takuya. “Ketika aku bilang aku benci Minoru…”
“Aku tahu…,” kata Papa Takuya sambil tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari Minoru. “Takuya, apa
kamu masih punya popok?” tanya Papa Takuya dengan panik.
“Aku mengganti popoknya tadi dan itu yang terakhir,” jawab
Takuya.
Oh…Minoru…Aku harap ia tidak buang air,” kata Papa Takuya.
Papa Takuya dan Takuya pun masuk ke dalam gerbong kereta.
Takuya adalah kakak Minoru, dan ia harus banyak sabar atas
semua hal yang terjadi. Dan mungkin ia harus banyak bersabar kedepannya.
"Tapi itu tak apa-apa, karena aku adalah kakaknya Minoru..."
Bersambung ke Sinopsis Anime : Akachan To Boku Episode 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar